Pengertian
Ittiba
Ittiba dari segi bahasa berarti “menurut” atau “mengikuti”,
sedangkan orang yang diikuti disebut muttabi.
Kata “Ittibaa`a” berasal dari bahasa Arab, yakni dari kata
kerja atau fi`il “Ittaba`a-yattabi`u-ittiba`an”, yang artinya adalah
mengikuti atau menurut. Ittiba` yang dimaksudkan disini adalah :
قَبُوْلُ قَوْلِ الْقَا ئِلِ وَاَنْتَ تَعْلَمُ مِنْ اَيْنَ قَالُهُ
“Menerima perkataan orang
lain yang berkata, dan kamu mengetahui alasan perkataaanya.” Disamping ada juga
yang memberi definisi:
قبُوْلُ قَوْلِ الْقَا ئِلِ بَدَلِيْلِ رَا جِحِ
“Menerima perkataan
seseorang dengan dalil yang lebih kuat.”
Jika kita gabungkan definisi-definisi diatas, dapat kita simpulkan
bahwa, Ittiba` adalah mengambil atau menerima perkataan seorang fakih
atau mujtahid, dengan mengetahui alasannya serta tidak terikat pada salah satu
mazhab dalam mengambil suatu hukum berdasarkan alasan yang dianggap lebih kuat
dengan jalan membanding.
Hukum
berittiba`
Dari pengertian tersebut diatas, jelaslah yang dinamakan ittiba`
bukanlah mengikuti pendapat ulama tanpa alasan agama. Adapun orang yang
mengambil atau mengikuti alasan-alasan dinamakan “Muttabi.” Hukum ittiba adalah
wajib bagi setiap muslim, karena ittiba` adalah perintah Allah, sebagaimana firman-Nya:
اِتَّبِعُوءا مَآ اُنْزِلَ اِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلاَ
تَتَّبِعُوْا مِنْ دُوْنِهِ اَوْلِيَآءَ قَلِيْلاً مَا تَذَكَّرُوْنَ
Ikuti
apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan jangan lah kamu ikuti selain Dia
sebagai pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran. (Q.S. Al-A`raf: 3)
Dalam
ayat tersebut kita diperintah mengikuti perintah-perintah Allah SWT. Kita telah
mengikuti bahwa tiap-tiap perinah dari Allah adalah wajib, dan tidak terdapat
dalil yang merubahnya. Disamping itu juga ada sabda Nabi yang berbunyi:
عَليْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنّةُ الْخُلَفَآءِ الرَّا شِدِيْنَ مِنْ
بَعْدِ-(رواه ابو داود)
Wajib
atas kamu mengikuti sunnahku dan perjalanan sunnah Khulafaur Rasyidin
sesudahku. (HR. Abu Daud).
Pendapat
ulama tentang ittiba`
Kalangan usuliyyin mengemukakan bahwa ittiba` adalah mengikuti atau
menerima semua yang diperintahkan atau dilarang atau dibenarkan oleh
Rasulullah. Dalam versi lain, ittiba` diartikan mengikuti pendapat orang lain
dengan mengetahui argumentasi pendapat yang diikuti. Ittiba` dapat dibagi
menjadi dua bagian: ittiba` kepada Allah dan Rasul-Nya dan ittiba` kepada
selain Allah dan Rasul-Nya.
Ittiba` kepada Allah dan Rasul-Nya wajib sesuai dengan firman Allah
dalam surat Al-A`raf (7) ayat 3 yang artinya “ikutilah apa yang diturunkan
kepadamu dari tuhanmu dan jaganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainnya.
Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).
Mengenai ittiba` kepada para ulama dan mujahid ( selain Allah dan
Rasul-Nya) terdapat perbedaan. Imam Ahmad bin Hambal hanya membolehkan ittiba`
kepada Rasul. Sedangkan pendapat yang lain mengatakan bahwa boleh ittiba`
kepada ulam yang dikategorikan sebagai warosatul anbiya, dengan alasan firman
Allah surat An-Nahl (16):43 yang artinya “dan kami tidak mengutus sebelum
kamu, kecuali orang-orang lelaki yang kami beri wahyu kepada mereka; maka
bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”
Yang dimaksud dengan “orang-orang yang mempunyai ilmu pengetahuan” (Ahl
Adz-Dzikri) dalam ayat itu adalah orang-orang yang ahli dalam ilmu Al-Qur`an
dan hadis serta bukan pengetahuan berdasarkan pengalaman semata. Karena orang-orang
yang seperti disebut terakhir dikhawatirkan akan banyak melakukan banyak
penyimpangan-penyimpangan dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur`an dan Hadis
Rasul, bahkan yang terkandung dalam Al-Qur`an. Untuk itu, kepada orang-orang
seperti ini tidak dibenarkan berittiba kepadanya islam.
Berbeda dengan seorang mujtahid, seorang muttabi` tidak memiliki
syarat-syarat tertentu untuk berittiba`. Bila seseorang tidak sanggup
memecahkan persoalan keagamaan dengan sendirinya, ia wajib bertanya kepada
seorang mujtahid atau kepada orang-orang yang benar-benar mengetahui. Dengan demikian,
diharapkan agar setiap kaum muslimin sekalipun mereka awam dapat mengamalkan
ajaran islam dengan penuh keyakinan karena adanya pengertian. Karena suatu
ibadah yang dilakukan dengan penuh pengertian dan keyakinan akan menimbulkan
kekhusuan dan keikhlasan.
Kemudian, seandainya jawaban yang diterima dari seorang mujtahid
atau ulama diragukan kebenarannya, maka muttabi` yang bersangkutan boleh saja
bertanya kepada mujtahid atau ulama lain untuk mendapatkan jawaban yang
menimbulkan keyakinan dalam beramal. Dengan kata lain, ittiba` tidak harus
dilakukan kepada beberapa orang mujtahid atau ulama. Mungkin dalam suatu
masalah mengikuti ulama A dan dalam masalah lain mengikuti ulama B.
Good amal....
BalasHapus