Jumat, 03 Juni 2016

ITTIBA`



Pengertian Ittiba
Ittiba dari segi bahasa berarti “menurut” atau “mengikuti”, sedangkan orang yang diikuti disebut muttabi.
Kata “Ittibaa`a” berasal dari bahasa Arab, yakni dari kata kerja atau fi`il “Ittaba`a-yattabi`u-ittiba`an”, yang artinya adalah mengikuti atau menurut. Ittiba` yang dimaksudkan disini adalah :
قَبُوْلُ قَوْلِ الْقَا ئِلِ وَاَنْتَ تَعْلَمُ مِنْ اَيْنَ قَالُهُ
“Menerima perkataan orang lain yang berkata, dan kamu mengetahui alasan perkataaanya.” Disamping ada juga yang memberi definisi:
قبُوْلُ قَوْلِ الْقَا ئِلِ بَدَلِيْلِ رَا جِحِ
“Menerima perkataan seseorang dengan dalil yang lebih kuat.”
Jika kita gabungkan definisi-definisi diatas, dapat kita simpulkan bahwa, Ittiba` adalah mengambil atau menerima perkataan seorang fakih atau mujtahid, dengan mengetahui alasannya serta tidak terikat pada salah satu mazhab dalam mengambil suatu hukum berdasarkan alasan yang dianggap lebih kuat dengan jalan membanding.
Hukum berittiba`
Dari pengertian tersebut diatas, jelaslah yang dinamakan ittiba` bukanlah mengikuti pendapat ulama tanpa alasan agama. Adapun orang yang mengambil atau mengikuti alasan-alasan dinamakan “Muttabi.” Hukum ittiba adalah wajib bagi setiap muslim, karena ittiba` adalah perintah Allah, sebagaimana firman-Nya:
اِتَّبِعُوءا مَآ اُنْزِلَ اِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلاَ تَتَّبِعُوْا مِنْ دُوْنِهِ اَوْلِيَآءَ قَلِيْلاً مَا تَذَكَّرُوْنَ
Ikuti apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan jangan lah kamu ikuti selain Dia sebagai pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran. (Q.S. Al-A`raf: 3)
Dalam ayat tersebut kita diperintah mengikuti perintah-perintah Allah SWT. Kita telah mengikuti bahwa tiap-tiap perinah dari Allah adalah wajib, dan tidak terdapat dalil yang merubahnya. Disamping itu juga ada sabda Nabi yang berbunyi:
عَليْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنّةُ الْخُلَفَآءِ الرَّا شِدِيْنَ مِنْ بَعْدِ-(رواه ابو داود)
Wajib atas kamu mengikuti sunnahku dan perjalanan sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahku. (HR. Abu Daud).
Pendapat ulama tentang ittiba`
Kalangan usuliyyin mengemukakan bahwa ittiba` adalah mengikuti atau menerima semua yang diperintahkan atau dilarang atau dibenarkan oleh Rasulullah. Dalam versi lain, ittiba` diartikan mengikuti pendapat orang lain dengan mengetahui argumentasi pendapat yang diikuti. Ittiba` dapat dibagi menjadi dua bagian: ittiba` kepada Allah dan Rasul-Nya dan ittiba` kepada selain Allah dan Rasul-Nya.
Ittiba` kepada Allah dan Rasul-Nya wajib sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-A`raf (7) ayat 3 yang artinya “ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari tuhanmu dan jaganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainnya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).
Mengenai ittiba` kepada para ulama dan mujahid ( selain Allah dan Rasul-Nya) terdapat perbedaan. Imam Ahmad bin Hambal hanya membolehkan ittiba` kepada Rasul. Sedangkan pendapat yang lain mengatakan bahwa boleh ittiba` kepada ulam yang dikategorikan sebagai warosatul anbiya, dengan alasan firman Allah surat An-Nahl (16):43 yang artinya “dan kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”
Yang dimaksud dengan “orang-orang yang mempunyai ilmu pengetahuan” (Ahl Adz-Dzikri) dalam ayat itu adalah orang-orang yang ahli dalam ilmu Al-Qur`an dan hadis serta bukan pengetahuan berdasarkan pengalaman semata. Karena orang-orang yang seperti disebut terakhir dikhawatirkan akan banyak melakukan banyak penyimpangan-penyimpangan dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur`an dan Hadis Rasul, bahkan yang terkandung dalam Al-Qur`an. Untuk itu, kepada orang-orang seperti ini tidak dibenarkan berittiba kepadanya islam.
Berbeda dengan seorang mujtahid, seorang muttabi` tidak memiliki syarat-syarat tertentu untuk berittiba`. Bila seseorang tidak sanggup memecahkan persoalan keagamaan dengan sendirinya, ia wajib bertanya kepada seorang mujtahid atau kepada orang-orang yang benar-benar mengetahui. Dengan demikian, diharapkan agar setiap kaum muslimin sekalipun mereka awam dapat mengamalkan ajaran islam dengan penuh keyakinan karena adanya pengertian. Karena suatu ibadah yang dilakukan dengan penuh pengertian dan keyakinan akan menimbulkan kekhusuan dan keikhlasan.
Kemudian, seandainya jawaban yang diterima dari seorang mujtahid atau ulama diragukan kebenarannya, maka muttabi` yang bersangkutan boleh saja bertanya kepada mujtahid atau ulama lain untuk mendapatkan jawaban yang menimbulkan keyakinan dalam beramal. Dengan kata lain, ittiba` tidak harus dilakukan kepada beberapa orang mujtahid atau ulama. Mungkin dalam suatu masalah mengikuti ulama A dan dalam masalah lain mengikuti ulama B.



1 komentar: