Pengertian
Talfiq
Talfiq berasal dari kata lafaqa yang artinya mempertemukan menjadi
satu. Dalam literatur ushul fiqh, sulit ditemukan pembahasan secara jelas
tentang definisi talfiq. Namun hampir semua literatur menyinggung masalah ini
dalam pembahasan tentang “beralihnya orang yang meminta fatwa kepada imam
mujtahid lain dalam masalah yang lain.” Perpindahna madzhab ini dinamakan
talfiq, dalam arti “beramal dalam urusan agama dengan berpedoman kepada
petunjuk beberapa madzhab.”
Talfiq adalah mengambil pendapat dari seorang mujtahid lain, baik
dalam masalah yang sama maupun berbeda. Contohnya adalah mengambil pendapat
dari dua orang mujtahid dalam masalah yang sama, seperti seseorang membaca
basmallah sewaktu membaca Al-Fatihah karena mengambil dari pendapat Imam
Syafi`i, kemudian pada saat lain ia tidak membaca basmallah karena mengikuti pendapat
Imam Abu Hanifah.
Adapula yang memahami talfiq itu dalam lingkup yang lebih sempit,
yaitu dalam satu masalah tertentu. Umpamanya talfiq dalam masalah persyaratan
sahnya nikah, yaitu mengenai persyaratan wali nikah dengan mengikuti satu
madzhab tertentu, sedangkan mengenai syarat penyebutan mahar mengikuti madzhab
yang lain.
Pendapat
para ulama tentang talfiq
Para ulama memperbincangkan masalah hukum talfiq tersebut. Tentunya
masalah ini tidak menjadi bahan perbincangan bagi kalangan ulama yang tidak
mengharuskan seorang untuk mengikatkan dirinya kepada satu madzhab, atau kepada
seorang muhtahid (mufti) tertentu. Demikian juga bagi kalangan ulama yang
mengharuskan bermadzhab dan tidak boleh berpindah mazhab. Mereka merasa tidak
perlu memperbincangkan masalah ini, karena talfiq itu sendiri pada hakikatnya
adalah pindah mazhab. Bagi kedua kalangan ulama tersebut, talfiq sudah jelas
hukumnya. Karena itu perbincangan tentang talfiq itu muncul di kalangan ulama
yang membolehkan berpindah mazhab dalam masalah tertentu.
Sebagian ulama menolak talfiq dengan tujuan untuk mencari-cari
kemudahan atau tattabi` ar-rakhas. Ibnu Subki menukilkan pendapat Abu Ishq
Al-Mrwazi yang membolehkan talfiq, kemudian diluruskan pengertiannya oleh
Al-Mahalli yang menyatakan bahwa melakukannya adalah fasik, sedangkan Ibnu Abu
Hurairah menyatakan tidak fasik.
Jika pendapat diatas kita bandingkan dengan pandangan Al-Razi dalam
kitab Al-Maushul dan syarahnya yang mengutip persyaratan yang dikemukakan
Al-Rayani dan komentar Ibn `Abad As-Salam, dapat disimpulkan vahwa boleh
tidaknya talfiq tergantung kepada motivasi dalam melakukan talfiq tersebut. Motivasi
ini di ukur dengan kemashlahatan yang bersifat umum. Kalau motivasinya adalah
negative, dengan arti mempermainkan agama atau mempermudah agama, maka hukumnya
tidak boleh. Umpamanya seorang laki-laki menikahi seorang perempuan tanpa wali,
tanpa saksi dan tanpa menyebutkan mahar, padahal untuk memenuhi ketiga syarat
itu tidak susah. Maka jelas bahwa orang tersebut menganggap enteng ajaran agama
dan mempermainkan hukum syara`.
Bila talfiq dilakukan dengan motivasi maslahat, yaitu menghindarkan
kesulitan dalam beragama, maka talfiq dapat dilakukan, inilah yang dimaksud
Ar-Razi dengan ucapan. “Terbuka hatinya waktu mengikuti mazhab yang lain itu”
dalam memahami tattabiu` Ar-Rakhas yang harus dihindarkan dalam bertalfiq.
Bila talfiq dilakukan oleh suatu Negara dalam pembentukan suatu
perarturan yang akan dijalankan umat islam, maka tidak ada alasan untuk
menolaknya, karena suatu negara dalam berbuat untuk umatnya berdasarkan pada
kemashlahatan umum. Untuk tindakan berhati-hati dalam melakukan talfiq adalah
berupaya mengikuti persyaratan yang dikemukakan Al-Alai yang diikuti oleh
At-Tahrir sebagai berikut:
Pendapat yang dikemukakan oleh mazhab lain itu dinilainya lebih
bersikap hati-hati dalam menjalankan agama. Dalil itu pendapat yang dikemukakan
mazhab itu dinilainya kuat dan rajih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar