Jumat, 03 Juni 2016

TALFIQ



Pengertian Talfiq
Talfiq berasal dari kata lafaqa yang artinya mempertemukan menjadi satu. Dalam literatur ushul fiqh, sulit ditemukan pembahasan secara jelas tentang definisi talfiq. Namun hampir semua literatur menyinggung masalah ini dalam pembahasan tentang “beralihnya orang yang meminta fatwa kepada imam mujtahid lain dalam masalah yang lain.” Perpindahna madzhab ini dinamakan talfiq, dalam arti “beramal dalam urusan agama dengan berpedoman kepada petunjuk beberapa madzhab.”
Talfiq adalah mengambil pendapat dari seorang mujtahid lain, baik dalam masalah yang sama maupun berbeda. Contohnya adalah mengambil pendapat dari dua orang mujtahid dalam masalah yang sama, seperti seseorang membaca basmallah sewaktu membaca Al-Fatihah karena mengambil dari pendapat Imam Syafi`i, kemudian pada saat lain ia tidak membaca basmallah karena mengikuti pendapat Imam Abu Hanifah.
Adapula yang memahami talfiq itu dalam lingkup yang lebih sempit, yaitu dalam satu masalah tertentu. Umpamanya talfiq dalam masalah persyaratan sahnya nikah, yaitu mengenai persyaratan wali nikah dengan mengikuti satu madzhab tertentu, sedangkan mengenai syarat penyebutan mahar mengikuti madzhab yang lain.
Pendapat para ulama tentang talfiq
Para ulama memperbincangkan masalah hukum talfiq tersebut. Tentunya masalah ini tidak menjadi bahan perbincangan bagi kalangan ulama yang tidak mengharuskan seorang untuk mengikatkan dirinya kepada satu madzhab, atau kepada seorang muhtahid (mufti) tertentu. Demikian juga bagi kalangan ulama yang mengharuskan bermadzhab dan tidak boleh berpindah mazhab. Mereka merasa tidak perlu memperbincangkan masalah ini, karena talfiq itu sendiri pada hakikatnya adalah pindah mazhab. Bagi kedua kalangan ulama tersebut, talfiq sudah jelas hukumnya. Karena itu perbincangan tentang talfiq itu muncul di kalangan ulama yang membolehkan berpindah mazhab dalam masalah tertentu.
Sebagian ulama menolak talfiq dengan tujuan untuk mencari-cari kemudahan atau tattabi` ar-rakhas. Ibnu Subki menukilkan pendapat Abu Ishq Al-Mrwazi yang membolehkan talfiq, kemudian diluruskan pengertiannya oleh Al-Mahalli yang menyatakan bahwa melakukannya adalah fasik, sedangkan Ibnu Abu Hurairah menyatakan tidak fasik.
Jika pendapat diatas kita bandingkan dengan pandangan Al-Razi dalam kitab Al-Maushul dan syarahnya yang mengutip persyaratan yang dikemukakan Al-Rayani dan komentar Ibn `Abad As-Salam, dapat disimpulkan vahwa boleh tidaknya talfiq tergantung kepada motivasi dalam melakukan talfiq tersebut. Motivasi ini di ukur dengan kemashlahatan yang bersifat umum. Kalau motivasinya adalah negative, dengan arti mempermainkan agama atau mempermudah agama, maka hukumnya tidak boleh. Umpamanya seorang laki-laki menikahi seorang perempuan tanpa wali, tanpa saksi dan tanpa menyebutkan mahar, padahal untuk memenuhi ketiga syarat itu tidak susah. Maka jelas bahwa orang tersebut menganggap enteng ajaran agama dan mempermainkan hukum syara`.
Bila talfiq dilakukan dengan motivasi maslahat, yaitu menghindarkan kesulitan dalam beragama, maka talfiq dapat dilakukan, inilah yang dimaksud Ar-Razi dengan ucapan. “Terbuka hatinya waktu mengikuti mazhab yang lain itu” dalam memahami tattabiu` Ar-Rakhas yang harus dihindarkan dalam bertalfiq.
Bila talfiq dilakukan oleh suatu Negara dalam pembentukan suatu perarturan yang akan dijalankan umat islam, maka tidak ada alasan untuk menolaknya, karena suatu negara dalam berbuat untuk umatnya berdasarkan pada kemashlahatan umum. Untuk tindakan berhati-hati dalam melakukan talfiq adalah berupaya mengikuti persyaratan yang dikemukakan Al-Alai yang diikuti oleh At-Tahrir sebagai berikut:
Pendapat yang dikemukakan oleh mazhab lain itu dinilainya lebih bersikap hati-hati dalam menjalankan agama. Dalil itu pendapat yang dikemukakan mazhab itu dinilainya kuat dan rajih.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar